“Pemuda jaman sekarang itu bukan lagi pemuda yang harus disuguhkan dengan 100% cerita dan histori tempo dulu, budaya juga perlu di amandemen sedemikian rupa seperti halnya UUD 1945, pembaharuan atau pergantian, ambil jalan tengahnya atau putar haluan, melangkah tegas maju atau beriringan, ITU SELERA...”
****
Subuh kala itu menyapa dengan lembut diiringi dengan adzan yang berkumandang. Zahra segera menyiapkan diri untuk sholat subuh dan segera menuju ke kamar mandi. Entah mimpi mana yang membawa matanya untuk melihat ponsel, namun tak sia-sia firasatnya, bahwa ada email masuk di ponsel dan notifikasi menunjukkan diterima pukul 02.30, Zahra enggan membuka email sebelum sholat subuh sehingga ia menyegerakan kewajibannya itu.
Selepas sholat subuh, Zahra kembali ke kasur dan menyenderkan tubuhnya ke tembok sembari membuka ponsel, lalu perlahan membuka email. Terkejut Zahra melihatnya, matanya tidak berhenti berkedip dan membaca, ternyata email yang diterima dari organisasi pecinta budaya Jawa atas nama Anton Dwija, dengan isi undangan untuk menghadiri teater nasional budaya Jawa sebagai penutupan rangkaian acara seminar dan sosialisasi waktu lalu. Zahra pun berfikir apakah dia akan datang atau tidak, karena teater itu pasti membosankan.
Siang yang terik, matahari menyambut kejam setiap manusia yang keluar dari persinggahannya, salah seorang teman se redaksi kampusnya mendekati Zahra, Luluk namanya.
“ Ra, besok dateng ke teater? Aku dapet undangan nih sekalian ngeliput “ Luluk mencoba membujuk.
“ Dih pasti bosen deh, aku males ganti R inda aja deh” Zahra dengan wajah lesu .
“ Siapa tahu teaternya bagus, lumayan buat tambahan di majalah sebelum terbit “ Luluk masih membujuk.
“ Iya deh iya, besok aku tebengin ya, aku lemes banget bawa motor sendiri “ Zahra mengiyakan
Perbincangan keduanya mulai menghangat dan semakin akrab dengan sedikit canda di antara mereka. Kemudian Zahra sejenak berfikir, apakah Anton akan menjadi salah satu tokoh atau mungkin sekedar mondar-mandir saja.
****
Keesokan harinya, Zahra dan Luluk telah bersiap menggunakan jarit sebagai syarat memasuki auditorium tempat teater di gelar. Sangat kental dengan budaya Jawa, dengan ornamen cokelat yang khas dan sentuhan beberapa karya mahasiswa berupa lukisan abstrak yang disusun sangat apik, inilah kesederhanaan budaya Indonesia yang ketika dilihat sederhana namun sangat mewah ketika dirasakan, perasaan kagum dan cinta terhadap negeri memang sempat menghilang dari jiwa Zahra, dan kini ia merasakannya lagi, itu anugerah Tuhan kepadanya bisa merasakan perasaan takjub akan budayanya sendiri. Zahra pun duduk sesuai denah dan nomor yang diberikan. Acara dimulai, Zahra antusias dengan handycam di tangannya dan siap meliput segala aktivitas di dalam auditorium berlangsungnya teater.
Alunan musik Jawa telah terdengar, beberapa pemain telah muncul dengan sedikit tarian. Tiba saatnya penyair keluar dengan topeng setengah wajah, dengan kertas gulung berpita di tangan kanannya. Musik Jawa pun berhenti, berganti dengan musik dramatis yang mencekam.
“ Terimakasih wahai pemuda negeri, bentuk cinta kalian terhadap bangsa, lewat karya dan ilmu, dengan kerja keras yang tak semu, menjadikan bangsa ini manis di matamu,
Terimakasih wahai penerus bangsa dan budaya, tidaklah mudah membentuk karakter dan citra, tidak mudah menjelaskan semuanya,bagaimana bangsa dan budaya ini terbentuk,bagaimana letihnya pendahulu menciptakan keberagaman itu,
Terimakasih kalian yang telah menjadi bagian dari keluarga kami, kami yang berusaha menjadikan bangsa dan budaya ini tetap pada porsinya..”
Sederhana , namun kata-kata itu menjadi sebuah suntikan bagi Zahra untuk selalu mencintai apa yang ada di negeri ini. Sebuah semangat yang lantas menjadi ketertarikan baru untuknya.
“ Ra, gimana udah selesai videonya? Sekalian dibikin teaser ya buat presentasi ke redaksi” Luluk dengan lirih berbicara kepada Zahra.
“ Siap Luk, ntar gampang” Luluk membalas.
Terdengar panggilan seorang laki-laki di belakang Zahra,
“ Mbak, mbak Zahra...”
Ternyata Anton yang memanggil, Zahra kemudian membalikkan badan beriringan dengan Luluk pamit pergi.
“ Mbak boleh bicara sebentar ? “ Anton memulai obrolan
“Boleh, di deket tangga aja mas” Zahra menjawab
Kemudian mereka duduk di tangga, terlihat sangat serius mimik wajah Anton.
“ Mbak, saya dapat tugas untuk menyampaikan maksud kerjasama dengan redaksi kampus anda, ada project budaya yang membutuhkan jurnalis seperti mbak,untuk proposal menyusul, jadi mbak bisa rundingkan dulu dengan redaksi. Bagaimana mbak? Nanti saya yang akan pandu” Anton menjelaskan maksudnya.
“ Maaf mas, mengenai peliputan temanya apa ya?”
“ Nanti detailnya bisa saya hubungi kemudian setelah acc mbak,”
“ Secara garis besar ? “
“Secara garis besar mengenai modernisasi dan budaya kontemporer”
“ Owalah begitu,ya nanti saya kontak mas nya ya”
“ Baik mbak,terimakasih “
Mereka pun berjabat tangan tanda perpisahan, Zahra berjalan menuju halte bis dan berpikir, itu adalah tawaran yang menarik. Zahra sembari membayangkan keasyikan meliput budaya yang tidak pernah ia alami sebelumnya. Sejenak bertanya dalam hati, apakah yang nanti Ia dapatkan setelah itu? Modernisasi?Kontemporer? Adakah perbedaan yang cukup signifikan sehingga perlu di liput lebih dalam?
Bersambung......
Komentar
Posting Komentar