CHAPTER 1 ; INTRO


"I just wannabe me, one and only me"




REYNA ADITANIA

            brukkk….’
 “Ah maaf, saya tidak sengaja pak, saya sedang buru-buru tadi.”
“Eh, iya mbak, mau interview ya ?”
“Iya pak, ruangannya bapak Hendi dimana ya?”
“Ayo mbak saya antar.”

Benar-benar sial, hari pertama sudah terlambat. Bagaimana pandangan atasanku nanti. First Impression harusnya adalah penilaian paling pertama ketika menginterview seorang karyawan baru.

“Masuk. Saya sudah menunggu dari tadi, lho.” 
HRD itu tampak mengangkat kepalanya dan melihat kearahku. Pakaiannya sangat rapi, sehingga aku dapat memastikan, orang ini adalah tipe yang perfeksionis. Mati aku.
“Ah, permisi pak, maafkan saya tadi benar-benar agak berantakan karena saya bangun kesiangan.”
 Aku sedikit tersenyum kaku melihat ke arahnya. Nampaknya aku adalah mangsanya hari dan sekaligus sarana menumpahkan kekesalannya.
“ Tidak apa-apa, ini hanya interview, tapi kalau sudah diterima jangan diulangi ya, saya kurang menyukai karyawan yang senang bangun siang dengan alasan apapun. “

Aku mengangkat sedikit kepalaku, HRD tersebut ternyata menerima alasan jujurku. Ini awal yang tidak terlalu buruk, pikirku.

“Ah iya, kemarin saya sudah melihat CV mu, saya baru tahu wanita semuda kamu mau bekerja di perusahaan meubel kecil, sudah 3 tahun ya?”
 Kata HRD itu yang sekaligus membuka notebooknya, mungkin melihat CV ku yang terkirim lewat E-mail.
“ Iya pak, saya memang bekerja disitu sebagai accounting sekaligus manajer, karena memang perusahaannya kecil jadi satu orang bias double job. Sekiranya begitu pak sekilas tentang pekerjaan saya dulu.”
Aku berkata jujur, memang meubel nya kecil. Tapi gajiku sama dengan pekerja kantoran di pabrik. Tidak jauh beda.
“ Oh iya? Berarti pengalamanmu kurang ya untuk perusahaan besar?” HRD itu meremehkanku. Maaf, aku tidak bias diremehkan oleh seorang lelaki, apalagi songong seperti dia.
“ Maaf pak, di sudut pandang saya, pekerjaan apapun itu punya nilai tersendiri, bahkan kalau hanya sebagai kasir di took, menurut saya semua punya seni-nya sendiri-sendiri. Pengalaman memang penting, namun semua pekerjaan memang harus banyak belajar, bukan begitu, pak?” aku menjawab dengan tegas, dengan nada sedikit menyindir. Semoga dia paham maksutku.
“Ah, aku mengerti, itulah kenapa saya memanggil anda Nona Rey.”

Sebentar, kenapa dia tahu nama panggilanku? Apakah ada yang bias menjelaskan kenapa dia mengenal nama panggilan orang-irang terdekatku? Aku mengerutkan dahiku sedikit lama hingga Pak Hendi menjentikkan jarinya.

“Hey? Apakah anda bingung kenapa saya mengetahui nama panggilan anda? Ah saya belum mengenalkan diri ya, saya Hendi Wirawan, anak dari Pak Surya Wirawan pemilik meubel tempat anda bekerja dulu.”

Terkejut? Iya. Aku baru sadar dia anak Pak Surya yang Ia banggakan lulus dari Universitas Indonesia. Memang Pak Surya tidak mau mengenalkan anak-anaknya kepada karyawan dengan alasan klasik. Tak mau karyawan-karyawannya meminta untuk dijadikan menantu, sungguh. Karena menurut penuturan beliau, anaknya memang, ehem, tampan.

“Wah, saya tidak menyangka, maaf saya tidak mengenali anda, karena memang Ayah anda tidak mau mengenalkan anak-anaknya. Sekali lagi saya minta maaf.”

“Tidak perlu begitu, saya paham Ayah saya. Satu lagi saya sudah mendengar cerita anda dari Ayah saya. Sejujurnya beliau sedikit menyayangkan anda keluar dari perusahaan kecil kami, tapi kami mengerti, apalagi anda masih sangat muda kalau harus mengabdi pada perusahaan kecil, iya kan? Tapi sangat kebetulan ya, anda malah menjadi rekan anaknya di perusahaan ini.”
Tunggu, apa itu tadi kata-kata penerimaan? Maksutku, rekan kerjanya? Apakah aku diterima?
“ Maaf pak, saya kan belum menjadi karyawan.”

“Apakah saya terlalu basa-basi? Iya anda diterima Nona Rey, saya sudah mendengar kinerja anda, dan jujur, perusahaan kami juga sedang butuh sekali accounting, karena ketua baru saja mengeluarkan paksa, orang yang dulu bekerja disini mengambil sejumlah uang, ya walalupun tidak terlalu material, namun ketua sangat benci sikap seperti itu.” Pak Hendi menjelaskan panjang lebar hingga obrolan kami telah memakan waktu 2 jam lebih. Aku sedikit lega karena Pak Hendi sama dengan Pak Surya sifatnya. Tapi aku sedikit tidak mengerti dengan ucapan terakhirnya.

“Sebentar lagi, pimpinan kita ganti, bukan yang ada di annual report yang kamu baca, dia agak aneh setahuku, karena kami bertemu terakhir 7 tahun yang lalu, dia mantan anak magang disini, sekaligus anak Ketua yang paling muda. Hati-hati dia berbahaya.”
Berbahaya apanya? Apa dia teroris? Hah. Pikiranku jadi agak aneh.


Fatan Rikusuma
Singapura, 8.00 PM
“Iya yah, aku udah sampai, Pak Diman dimana? Oh itu aku udah nemu, Assalamualaikum.”

“Kak aku udah sampai bandara, selamat sehat.Kau, Jaga dirimu, segera nikahi temanmu itu biar gak usah ganggu aku lagi, haha.”
“Dasar adik kurang ajar, ini Mas mu juga udah mau lamar dia, lho.”
“Iya iya Kak, dah ya aku udah mau otw pulang sama Pak Diman. Bye”

Bandara Ahmad Yani, yang ku rindukan telah kembali. Kalau bukan ayahku yang menyuruhku kesini, Kak Reno pasti melarang. Ya, Kak Reno adalah kakak tertuaku, dia selalu denganku setiap saat. Karena dia sulung dan aku adalah bungsu. Kakak keduaku perempuan, dia masih giat berbisnis butiknya, karena memang itu impiannya sejak lama.
Beberapa tahun lalu, sebelum aku pindah ke Singapura, aku adalah seorang mahasiswa yang cukup bandel. Karena tesis ku tidak kunjung selesai, sehingga mempengaruhi kelulusanku. Bisa dibilang, aku dulu mahasiswa sedikit abadi, S2 lulus di usia 27 tahun. Menyedihkan memang.

“Assalamualaikum, Bu. Kabar sae ?’
“ Eh anak lanang, apik-apik wae. Sini masuk. Ibu udah buatin masak banyak, tasnya taruh dulu itu.”
Nggih, bu. Fatan mau mandi dulu aja, gerah.”

Kamarku, aku sudah lama merindukannya. Walaupun di Singapura kamarnya lebih aesthetic, tapi siapa yang mau meninggalkan kenangan masa kecilnya. Dulu aku sering sekali main game, gitar, dan bercanda bertiga dengan kedua kakakku, disini. Tapi setelah aku lulus dengan predikat mahasiswa abadi, semua berubah, aku dipaksa hidup di Singapura, kata ayahku, agar pergaulanku lebih tertata. Padahal aku bandel bukan karena lingkungan, tapi aku memang ingin menjadi diriku sendiri.

“Gimana, udah ada calon belum?” Ibu selalu begitu, entah pertanyaan itu akan berakhir. Aku saja tidak tahu kapan terakhir aku suka dengan perempuan. Bukan apa-apa, aku belum memikirkannya.
“Belum, bu. Kayanya jodoh Fatan masih senang jalan-jalan sendiri.” Aku tertawa pelan, jujur saja aku sempat memikirkan hal itu juga. Lucu saja rasanya, aku sudah 32 tahun tapi masih saja begini. Teman-temanku sudah punya istri, bahkan ada yang anaknya sudah 3. Tapi aku hanya belum mau saja.
“Ealah nang, kamu jangan nunda-nunda, jangan kaya mas mu itu, udah tua ngelamar juga masih ga berani.”
“Udah to bu, anak pulang ditagih menantu, makanya si Fatan betah banget di Singapura, ibunya aja bawel gini.” Yaampun ayah, aku sayang ayah.
“ Halah bapak anak sama aja. Kita dulu menikah umur 21 tahun, lho. Masak anak udah tua-tua belum nikah semua jal, kan ibu juga pengen punya menantu.”
Ibu kadang menyebalkan, tapi kadang juga aku iba. Bagaimana tidak, ibu selalu sendirian di rumah, sepertinya memiliki menantu akan membuatnya nyaman dan tidak sendirian lagi.
“Udah-udah jangan rebut. Fatan belum mau caris istri, kalau mau sana ibu pilihkan saja buat Fatan, Fatan nurut aja. “
Akhirnya mereka diam, beginilah nasib anak bungsu, udah tua juga selalu diperlakukan seperti anak kecil, jodoh aja sampai nurut-nurut aja.



SARIFAH RIKUSUMA
“Mbak Rifa, mau minum apa?”
“mmm… kopi susu aja, mas.”
“Ditunggu ya.”

Rifa, biasa aku dipanggil. Anak perempuan satu-satunya di keluarga Rikusuma, predikat anak ambyar satu-satunya juga. Aku tidak pernah serius berpacaran dengan orang-orang, itu akrena aku sadar, aku terlalu mudah dibodohi. Walaupun aku terkenal punya sisi intelek di bidang bisnis, tapi tidak dengan percintaanku.

“ Loh, udah nunggu lama nih?”
“Oh hei, baru 15 menit, sana pesen dulu,”
“ Oke bentar ya.”

Sekilas aku melihat Hanan, dia pelayan kedai kopi ini, wajahnya tampan, khas jawa, dia ramah, dan mudah sekali akrab dengan orang lain. Kalau kataku, dia itu manis sekali. Pria berperawakan tinggi itu lebih muda 5 tahun dariku, cukup jauh memang, dia sekarang sedang menempuh S2 di Kampus swasta di Semarang. Entah mulai kapan aku tertarik dengannya. Atau mungkin sudah jatuh cinta.

“Mbak Rifa, ini pesanannya. Oh iya, untuk yang kemarin, terimakasih ya mbak bukunya, membantu sekali hehe. Hanan bakal balikin secepatnya kalau tesisnya sudah selesai.”

“Ah santai aja, aku udah ngga makai. Buat kamu aja, atau boleh juga kamu kasihkan ke adik tingkatmu.”

“Yang benar saja mbak, buku itu mahal banget lho, masak mau di hibahin gitu aja/”

“Gapapa, itung-itung juga sedekah sama mahasiswa. Aku dulu juga pernah ngalamin susahnya cari buku, kalau aku udah ngga makai, kenapa ngga dikasihkan ke orang yang lebih butuh aja.”

“ Waduh mbak, Mbak Rifa baik banget, semoga nanti yang jadi suaminya Mbak Rifa orang baik-baik ya.”
.ya aku berharapnya kamu Nan.
“haha iya aamiin, Makasih doanya.”
“Sama-sama, Mbak. Hanan ke dalam dulu ya..”
Yaampun, kenapa aku jadi berharap sama anak itu sih, mana mau dia sama tante-tante.




Komentar