"I just wannabe me, one and only me"
REYNA
ADITANIA
‘brukkk….’
“Ah maaf, saya tidak sengaja pak, saya sedang
buru-buru tadi.”
“Eh, iya mbak, mau
interview ya ?”
“Iya pak, ruangannya
bapak Hendi dimana ya?”
“Ayo mbak saya antar.”
Benar-benar sial, hari
pertama sudah terlambat. Bagaimana pandangan atasanku nanti. First Impression harusnya adalah
penilaian paling pertama ketika menginterview seorang karyawan baru.
“Masuk. Saya sudah
menunggu dari tadi, lho.”
HRD itu tampak
mengangkat kepalanya dan melihat kearahku. Pakaiannya sangat rapi, sehingga aku
dapat memastikan, orang ini adalah tipe yang perfeksionis. Mati aku.
“Ah, permisi pak,
maafkan saya tadi benar-benar agak berantakan karena saya bangun kesiangan.”
Aku sedikit tersenyum kaku melihat ke arahnya.
Nampaknya aku adalah mangsanya hari dan sekaligus sarana menumpahkan
kekesalannya.
“ Tidak apa-apa, ini
hanya interview, tapi kalau sudah diterima jangan diulangi ya, saya kurang
menyukai karyawan yang senang bangun siang dengan alasan apapun. “
Aku mengangkat sedikit
kepalaku, HRD tersebut ternyata menerima alasan jujurku. Ini awal yang tidak
terlalu buruk, pikirku.
“Ah iya, kemarin saya
sudah melihat CV mu, saya baru tahu wanita semuda kamu mau bekerja di
perusahaan meubel kecil, sudah 3 tahun ya?”
Kata HRD itu yang sekaligus membuka
notebooknya, mungkin melihat CV ku yang terkirim lewat E-mail.
“ Iya pak, saya memang
bekerja disitu sebagai accounting sekaligus manajer, karena memang
perusahaannya kecil jadi satu orang bias double
job. Sekiranya begitu pak sekilas tentang pekerjaan saya dulu.”
Aku berkata jujur,
memang meubel nya kecil. Tapi gajiku sama dengan pekerja kantoran di pabrik.
Tidak jauh beda.
“ Oh iya? Berarti
pengalamanmu kurang ya untuk perusahaan besar?” HRD itu meremehkanku. Maaf, aku
tidak bias diremehkan oleh seorang lelaki, apalagi songong seperti dia.
“ Maaf pak, di sudut
pandang saya, pekerjaan apapun itu punya nilai tersendiri, bahkan kalau hanya
sebagai kasir di took, menurut saya semua punya seni-nya sendiri-sendiri.
Pengalaman memang penting, namun semua pekerjaan memang harus banyak belajar,
bukan begitu, pak?” aku menjawab dengan tegas, dengan nada sedikit menyindir.
Semoga dia paham maksutku.
“Ah, aku mengerti,
itulah kenapa saya memanggil anda Nona Rey.”
Sebentar, kenapa dia
tahu nama panggilanku? Apakah ada yang bias menjelaskan kenapa dia mengenal
nama panggilan orang-irang terdekatku? Aku mengerutkan dahiku sedikit lama
hingga Pak Hendi menjentikkan jarinya.
“Hey? Apakah anda
bingung kenapa saya mengetahui nama panggilan anda? Ah saya belum mengenalkan
diri ya, saya Hendi Wirawan, anak dari Pak Surya Wirawan pemilik meubel tempat
anda bekerja dulu.”
Terkejut? Iya. Aku baru
sadar dia anak Pak Surya yang Ia banggakan lulus dari Universitas Indonesia.
Memang Pak Surya tidak mau mengenalkan anak-anaknya kepada karyawan dengan
alasan klasik. Tak mau karyawan-karyawannya meminta untuk dijadikan menantu,
sungguh. Karena menurut penuturan beliau, anaknya memang, ehem, tampan.
“Wah, saya tidak
menyangka, maaf saya tidak mengenali anda, karena memang Ayah anda tidak mau
mengenalkan anak-anaknya. Sekali lagi saya minta maaf.”
“Tidak perlu begitu,
saya paham Ayah saya. Satu lagi saya sudah mendengar cerita anda dari Ayah
saya. Sejujurnya beliau sedikit menyayangkan anda keluar dari perusahaan kecil
kami, tapi kami mengerti, apalagi anda masih sangat muda kalau harus mengabdi
pada perusahaan kecil, iya kan? Tapi sangat kebetulan ya, anda malah menjadi
rekan anaknya di perusahaan ini.”
Tunggu, apa itu tadi
kata-kata penerimaan? Maksutku, rekan kerjanya? Apakah aku diterima?
“ Maaf pak, saya kan
belum menjadi karyawan.”
“Apakah saya terlalu
basa-basi? Iya anda diterima Nona Rey, saya sudah mendengar kinerja anda, dan
jujur, perusahaan kami juga sedang butuh sekali accounting, karena ketua baru
saja mengeluarkan paksa, orang yang dulu bekerja disini mengambil sejumlah
uang, ya walalupun tidak terlalu material, namun ketua sangat benci sikap
seperti itu.” Pak Hendi menjelaskan panjang lebar hingga obrolan kami telah
memakan waktu 2 jam lebih. Aku sedikit lega karena Pak Hendi sama dengan Pak
Surya sifatnya. Tapi aku sedikit tidak mengerti dengan ucapan terakhirnya.
“Sebentar lagi,
pimpinan kita ganti, bukan yang ada di annual report yang kamu baca, dia agak
aneh setahuku, karena kami bertemu terakhir 7 tahun yang lalu, dia mantan anak
magang disini, sekaligus anak Ketua yang paling muda. Hati-hati dia berbahaya.”
Berbahaya apanya? Apa
dia teroris? Hah. Pikiranku jadi agak aneh.
Fatan
Rikusuma
Singapura,
8.00 PM
“Iya yah, aku udah
sampai, Pak Diman dimana? Oh itu aku udah nemu, Assalamualaikum.”
“Kak aku udah sampai
bandara, selamat sehat.Kau, Jaga dirimu, segera nikahi temanmu itu biar gak
usah ganggu aku lagi, haha.”
“Dasar
adik kurang ajar, ini Mas mu juga udah mau lamar dia, lho.”
“Iya iya Kak, dah ya
aku udah mau otw pulang sama Pak Diman. Bye”
Bandara Ahmad Yani,
yang ku rindukan telah kembali. Kalau bukan ayahku yang menyuruhku kesini, Kak
Reno pasti melarang. Ya, Kak Reno adalah kakak tertuaku, dia selalu denganku
setiap saat. Karena dia sulung dan aku adalah bungsu. Kakak keduaku perempuan,
dia masih giat berbisnis butiknya, karena memang itu impiannya sejak lama.
Beberapa tahun lalu,
sebelum aku pindah ke Singapura, aku adalah seorang mahasiswa yang cukup
bandel. Karena tesis ku tidak kunjung selesai, sehingga mempengaruhi
kelulusanku. Bisa dibilang, aku dulu mahasiswa sedikit abadi, S2 lulus di usia
27 tahun. Menyedihkan memang.
“Assalamualaikum, Bu.
Kabar sae ?’
“ Eh anak lanang, apik-apik wae. Sini masuk. Ibu
udah buatin masak banyak, tasnya taruh dulu itu.”
“Nggih, bu. Fatan mau mandi dulu aja, gerah.”
Kamarku, aku sudah lama
merindukannya. Walaupun di Singapura kamarnya lebih aesthetic, tapi siapa yang mau meninggalkan kenangan masa kecilnya.
Dulu aku sering sekali main game, gitar, dan bercanda bertiga dengan kedua
kakakku, disini. Tapi setelah aku lulus dengan predikat mahasiswa abadi, semua
berubah, aku dipaksa hidup di Singapura, kata ayahku, agar pergaulanku lebih
tertata. Padahal aku bandel bukan karena lingkungan, tapi aku memang ingin
menjadi diriku sendiri.
“Gimana, udah ada calon
belum?” Ibu selalu begitu, entah pertanyaan itu akan berakhir. Aku saja tidak
tahu kapan terakhir aku suka dengan perempuan. Bukan apa-apa, aku belum
memikirkannya.
“Belum, bu. Kayanya
jodoh Fatan masih senang jalan-jalan sendiri.” Aku tertawa pelan, jujur saja
aku sempat memikirkan hal itu juga. Lucu saja rasanya, aku sudah 32 tahun tapi
masih saja begini. Teman-temanku sudah punya istri, bahkan ada yang anaknya
sudah 3. Tapi aku hanya belum mau saja.
“Ealah nang, kamu
jangan nunda-nunda, jangan kaya mas mu itu, udah tua ngelamar juga masih ga
berani.”
“Udah to bu, anak
pulang ditagih menantu, makanya si Fatan betah banget di Singapura, ibunya aja
bawel gini.” Yaampun ayah, aku sayang ayah.
“ Halah bapak anak sama
aja. Kita dulu menikah umur 21 tahun, lho. Masak anak udah tua-tua belum nikah
semua jal, kan ibu juga pengen punya
menantu.”
Ibu kadang menyebalkan,
tapi kadang juga aku iba. Bagaimana tidak, ibu selalu sendirian di rumah,
sepertinya memiliki menantu akan membuatnya nyaman dan tidak sendirian lagi.
“Udah-udah jangan rebut.
Fatan belum mau caris istri, kalau mau sana ibu pilihkan saja buat Fatan, Fatan
nurut aja. “
Akhirnya mereka diam,
beginilah nasib anak bungsu, udah tua juga selalu diperlakukan seperti anak
kecil, jodoh aja sampai nurut-nurut aja.
SARIFAH
RIKUSUMA
“Mbak Rifa, mau minum
apa?”
“mmm… kopi susu aja,
mas.”
“Ditunggu ya.”
Rifa, biasa aku
dipanggil. Anak perempuan satu-satunya di keluarga Rikusuma, predikat anak
ambyar satu-satunya juga. Aku tidak pernah serius berpacaran dengan
orang-orang, itu akrena aku sadar, aku terlalu mudah dibodohi. Walaupun aku
terkenal punya sisi intelek di bidang bisnis, tapi tidak dengan percintaanku.
“ Loh, udah nunggu lama
nih?”
“Oh hei, baru 15 menit,
sana pesen dulu,”
“ Oke bentar ya.”
Sekilas aku melihat
Hanan, dia pelayan kedai kopi ini, wajahnya tampan, khas jawa, dia ramah, dan
mudah sekali akrab dengan orang lain. Kalau kataku, dia itu manis sekali. Pria
berperawakan tinggi itu lebih muda 5 tahun dariku, cukup jauh memang, dia
sekarang sedang menempuh S2 di Kampus swasta di Semarang. Entah mulai kapan aku
tertarik dengannya. Atau mungkin sudah jatuh cinta.
“Mbak Rifa, ini
pesanannya. Oh iya, untuk yang kemarin, terimakasih ya mbak bukunya, membantu
sekali hehe. Hanan bakal balikin secepatnya kalau tesisnya sudah selesai.”
“Ah santai aja, aku
udah ngga makai. Buat kamu aja, atau boleh juga kamu kasihkan ke adik
tingkatmu.”
“Yang benar saja mbak,
buku itu mahal banget lho, masak mau di hibahin gitu aja/”
“Gapapa, itung-itung
juga sedekah sama mahasiswa. Aku dulu juga pernah ngalamin susahnya cari buku,
kalau aku udah ngga makai, kenapa ngga dikasihkan ke orang yang lebih butuh
aja.”
“ Waduh mbak, Mbak Rifa
baik banget, semoga nanti yang jadi suaminya Mbak Rifa orang baik-baik ya.”
.ya
aku berharapnya kamu Nan.
“haha iya aamiin,
Makasih doanya.”
“Sama-sama, Mbak. Hanan
ke dalam dulu ya..”
Yaampun, kenapa aku
jadi berharap sama anak itu sih, mana mau dia sama tante-tante.
Komentar
Posting Komentar